Senin, 28 Februari 2022
Pengertian Khatam Rayab Dalam Bahasa Lembak
1.
Rayab
Dalam bahasa Lembak kata
rayab mempunyai arti “Meresak”[1].
Meresak jika diartikan tidak mendapatkan kebahagian atau kemakmuran dalam
kehidupan. Jika ada seseorang yang bersumpah kemudian terbukti bersalah maka di
salah satu ayat yang ada dalam Al-Quran khatam rayab tersebut terdapat sebuah
“tetesan darah”. Mukjizat dari khatam rayab ini adalah kejadian ketika rumah
orang yang menyimpan Al-Quran “khatam” tersebut mengalami kebakaran yang
tersisa hanyalah abu terkecuali dengan kitab khatam rayab yang tidak terbakar.
Ketika seseorang mencari kitab khatam rayab di sekitaran tempat kejadian, kitab
tersebut tidak terduga sudah beradda di atas pohon kelapa.[2] Dalam
kejadian ini masyarakat yang melihat secara langsung dengan mata kepala semakin
yakin dengan mukjizat yang ada pada kitab khatam rayab tersebut.
Pengertian Tradisi dan Khatam
A. Tradisi
1.
Tradisi
Dalam pengertian yang paling sederhana, tradisi (tradition)
memiliki arti “warisan” atau adat istiadat yang sudah berlangsung lama dan
menjadi bagian dari sekelompok orang, biasanya berasal dari negara, budaya,
waktu atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar tentang tradisi adalah
adanya informasi tertulis dan lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi,
karena jika tidak dilakukan maka tradisi akan punah. Lundra mencontohkan dalam
bukunya "Mengingat Tradisi": Tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan
dari generasi ke generasi dalam masyarakat.[1]
Tradisi identik dengan kata "budaya", dan keduanya adalah
karya. Tradisi adalah karya masyarakat sekaligus karya budaya. Keduanya saling
mempengaruhi. Kedua kata ini merupakan personifikasi dari makna hukum tidak
tertulis, dan hukum tidak tertulis ini telah menjadi norma yang diakui di
masyarakat. Menurut Hasan Hanafi, tradisi (turats) adalah warisan masa lampau
(membaca tradisi) yang telah kita masuki dan masukkan ke dalam budaya saat ini.
Oleh karena itu, bagi Hanafi, tradisi bukan hanya soal meninggalkan sejarah, tetapi
juga soal kontribusi kontemporer di semua tingkatan.[2]
Ada tiga ciri tradisi. Pertama, tradisi adalah
(pengetahuan) dan sekaligus (proses) aktivitas yang umum bagi suatu komunitas.
Artinya tradisi memiliki makna kontinuitas, materi, kebiasaan dan ekspresi
verbal sebagai milik bersama yang masih dipraktikkan dalam kelompok sosial
tertentu. Kedua, tradisi adalah sesuatu yang menciptakan dan meneguhkan
identitas. Pilihan tradisi memperkuat nilai dan kepercayaan pembentukan
kelompok sosial. Ketika proses kepemilikan tradisional berlangsung, maka
tradisi menciptakan dan memperkuat rasa identitas kelompok. Ketiga, tradisi
adalah sesuatu yang diakui dan diakui kelompok sebagai tradisinya.[3]
Kata adat dan ‘urf diadopsi
dari bahasa arab. Secara etimolog, ‘adat
berasal dari kataد يعو = عاد yang artinya kembali, mengulangi (berulang-ulang). Adapun kata
‘urf dari kata عرف- يعرف yang artinya baik dan sesuatu yang sudah diketahui
oleh kalangan umum (orang banyak). Perbedaan yang telah disebutkan di atas
terjadi karena menurut ahli bahasa, sedangkan menurut ahli Syara, ‘urf itu mempunyai makna adat dan dengan kata lain ‘urf da nada itu tidak ada perbedaan.[4]
Dari kedua makna antara adat dan ‘urf
di atas tidak terdapat perbedaan yang signifikan, karena pengertian keduanya
sama, yaitu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan oleh suatu kelompok
masyarakat sehingga menjadi kebiasaan yang diakui oleh banyak orang.
Jika kita melihat
asal muasal sejarah dari Arab Jahiriya, kita akan menemukan tradisi, adat
istiadat dan budaya yang berakar pada masyarakat Jahiliyah pada saat itu. Di
antara banyak adat istiadat dan tradisi orang Arab Jahiliyah, ada yang
didirikan oleh Islam, dan ada pula yang dibatalkan karena tidak mematuhi hukum
Islam. Beberapa tradisi Arab Jahiliyah telah dihapus, yaitu mengubur perempuan
hidup-hidup, meminum khamr, memuja arca, arca dan berhala. Tradisi yang ditetapkan
oleh hukum Syariah adalah keramahtamahan untuk menjamu, menjamu dan menghormati
tamu.
Pengertian adat (‘urf) menurut syariat, kata adat di
Nusantara, khususnya Suku Melayu adalah aturan yang lazim dipatuhi dan dituruti
tanpa melihat baik dan buruknya. Sebagai pendekatan, mereka akan marah ketika
dikatakan “Tidak beradat, kurang adatnya, dan adatnya pas-pasan”. Oleh karena itu, adat merupakan hukum tidak tertulis dan sekaligus sebagai
sumber hukum. Sebelum hukum barat masuk ke Indonesia, adat adalah satu-satunya hukum rakyat yang
kemudian disempurnakan dengan hukum Islam sehingga disebut “adat bersendikan
syara”. Menyatunya adat Melayu dengan hukum syara’ diperkirakan terjadi sebelum
Islam masuk ke malaka pada akhir abad ke-14, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Tonel: “Adat Melayu pada mulanya
berpangkal pada adat-istiadat Melayu
yang digunakan dalam Negeri Tamasik, Bintan, dan Malaka. Pada zaman Malaka,
adat itu menjadi Islam karena rajanya pun telah memeluk Islam”.[5]
Dapat disimpulkan bahwa tradisi merupakan sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan terus menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, seringkali diakukan oleh suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama dan dilakukan secara terus menerus.
2. Khatam
Secara garis besar, arti kata khatam biasanya mengacu pada dua arti utama:
Pertama, berkaitan dengan keabsahan Alquran. Dari segi etimologis, kata khatam
berasal dari akar kata ختم
(khatamim), dan turunannya mengandung beberapa arti dari kata tersebut. Dalam
Kamus al-Munjid dan Kamus al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, khatam sendiri
memiliki banyak arti, seperti cincin, segel, segel, madu, pernis, segel,
lumpur, ujung, penutup, ujung, ujung dan ujung. Kemudian, akarnya membentuk
kata kerja khatama-yakhtim Anda, yang memiliki arti tertentu, termasuk:
stamping, sealing, sealing, membuat Anda tidak dapat memahami, berakhir untuk
pertama kali, lengkap (sampai akhir).[6]
Makna Kedua, khatam berarti tamat atau selesai aktivitas. Pemaknaan yang
ini lebih tepat untuk digunakan dalam tulisan ini.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pengertian dari khatam adalah
menyelesaikan atau menutup dari segala sesuatu. Kitab khatam rayab ada dua
pasang yaitu yang disimpan oleh keturunan laki-laki bergelar (khatam rayab)
dan yang di simpan oleh keturunan perempuan bergelar (Bondong) yaitu Yasin.[7]
Khatam atau bekhatam jika diartikan ke dalam
bahasa Lembak mempunyai arti bersumpah, khatam merupakan sebuah al-Quran
pertama di suku Lembak. Al-Quran tersebut tersebut
digunakan oleh masyarakat setempat untuk penyelesaian akhir masalah yang tidak
dapat diselesaikan dengan musyawarah kekeluargaan, tidak dapat diselesaikan
dengan hukum adat, dan tidak dapat diselasaikan dengan jalur hukum persidangan.[8]
Mayarakat setempat menyakini bahwah bersumpah menggunakan khatam rayab bagi yang bersalah akan menanggung penderitaan tujuh
keturuan.[9]
Sumpah adalah terjemahan dari kata qasama, hilf,
dan aiman yang dikemukakan oleh Munawwir. Dalam kamus bahasa Indonesia ada tiga arti,
yaitu pernyataan yang secara formal dinyatakan dengan bersaksi kepada Tuhan,
atau pernyataan sakral yang diyakini memperkuat kebenaran dan ketulusannya,
yang lainnya adalah pernyataan yang dibuat dengan tekad. Jika pernyataan itu
salah, sesuatu akan meningkatkan kebenaran atau berani menderita. Ketiga, janji
atau sumpah yang tegas akan mencapai sesuatu.[10]
Lafaz sumpah tersebut harus menggunakan huruf sumpah (al-qasam) yaitu waw,
ba’, ta’ seperti Wallahi (demi Allah), Billahi (demi Allah),
dan Tallahi ( demi Allah).[11]
Qasam juga diartikan sebagai pengikut
jiwa (hati) yang tidak melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, dan
maknanya adalah orang yang disumpah dianggap agung, agung pada hakikatnya dan
dalam i'tiqadi.[12]
Dapat disimpulkan bahwa sumpah adalah memperkuat salah satu dari dua pesan
tersebut dengan menyebut nama Allah atau sifatnya. Orang yang bersumpah untuk
memperkuat berita yang ada.
a. Macam-Macam Sumpah
Sumpah berdasarkan bentuk
dari segi keterikatan dan kewajiban kafarat yang dikarenakan niat bersuci
atasnya, sumpah (al-yamin) terbagi pada tiga bagian, yakni:
Sumpah berdasarkan bentuk dari segi keterikatan dan kewajiban kafarat yang
dikarenakan niat bersuci atasnya, sumpah (al-yamin) terbagi pada tiga
bagian, yakni:
1.
Al-yamin al laghw
Menurut pandangan mazhab Syafi'i
dan Hanbali, para ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang makna al
laghw. Al yamin al laghw adalah sumpah yang diucapkan dari mulut
seseorang, dan ia bersumpah secara tidak sengaja atau sengaja.[13]
Pada saat yang sama, menurut pandangan Mazhab Hanafi dan Maliki Al Laghw, ini adalah sumpah atau sesuatu yang ikhlas atau sangat diragukan oleh orang-orang. Kedua pandangan itu dekat satu sama lain, karena pandangan pertama pada dasarnya tidak bermaksud mengumpat, dan pandangan kedua tidak dimaksudkan untuk melanggarnya, dan yang dia inginkan hanyalah fakta. Sumpah al Laghw ini tidak dapat dikenakan hukuman (kafarat), hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah berikut ini:
Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang
disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.[14]
(Q.S. Al-Baqharah. 2. 225)
2.
Al yamin al ghamus (Sumpah Dusta)
Al yamin al ghamus adalah sumpah mengenai perkara yang sudah ada berlalu secara sengaja
berbohong guna menyalahi hak orang lain. Perjanjian yang dilakukan dalam sumpah
seperti ini adalah tindakan yang keji karea tujuannya adalah untuk berdusta.
Sumpah dusta ini tergolong dalam bentuk dosa besar kepada Allah SWT. Hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah berikut ini:
Artinya: Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di
antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah kokoh tegaknya, dan
kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari
jalan Allah; dan bagimu azab yang besar. [15]
(Q.S. An-Nahl. 16. 94).
Dari ayat di atas dapat
disimpulkan bahwa orang yang telah berniat melakukan sumpah dusta akan
mendapatkan azab yang besar dari Allah SWT dan akan merugikan dirinya sendiri
atas apa yang telah ia perbuat.
3.
Al yamin al mun’aqadah
Al yamin al mun’aqadah adalah sumpah terhadap sesuatu yang akan terjadi dan bersifat mungkin
menurut akal, baik dalam hal positif maupun hal yang negatif dengan menggunakan
kata “demi Allah” atau sumpah yang dilakukan oleh seseorang yang telah
memiliki tekad dalam hatinya untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perkara
kemudian ia mengucapkan sumpah selama ia tidak bergurau, marah dan berdusta.[16]
Ada tiga macam sumpah
yaitu al-yamin al laghw merupakan sumpah yang diucapkan secara tidak
sengaja oleh seseorang dan tidak dikenakan hukum selanjutnya al yamin al
ghamus merupakan sumpah yang dilakukan seseorang untuk dusta terakhir al yamin al mun’aqadah merupaka sumpah
yang dilakukan secar benar-benar yang dalam hatinya untuk mengerjakan atau
meninggalkan suatu perkara.
b.
Dasar Hukum Sumpah
Mengambil sumpah atas nama Allah atau karakternya
adalah mendorong menepati janji, dan dasar hukum untuk bersumpah adalah:
Seseorang yang bersumpah dengan menyebut nama Allah atau menyebut sifat-Nya
untuk mendorong dalam menepati jaji maka dasar hukum pelaksanaannya adalah:
1.
Al-Quran
Dasar hukum sumpah dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:
Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja. [17]
(Q.S. Al-Maidah. 5. 89)
2.
As-Sunnah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ وَلَا بِأُمَّهَاتِكُم وَلَا
بِالْأَنْدَادِ وَلَا تَحْلِفُوا إِلَّا بِاللَّهِ وَلَا تَحْلِفُوا بِاللَّهِ إِلَّا
وَأَنْتُمْ صَادِقُونَ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, kalian
dilarang bersumpah dengan (nama) ayah, ibu atau sejenisnya, sebagaimana
dilarang bersumpah kecuali dengan nama Allah. Janganlah bersumpah dengan nama Allah
kecuali kalian sebagai (pihak) orang yang benar (HR. Bukhari, Muslim dan Abu
Daud)”.[18]
c. Syarat dan Rukun Sumpah
1. Syarat bagi orang yang bersumpah
a. Baligh
b. Berakal sehat
c. Islam
d. Diucapkan dengan lisan
e. Sengaja untuk bersumpah
f. Dengan kemauan sendiri
2. Syarat pada perkara yang dijadikan sumpah
a. Perkara yang akan datang atau belum terjadi
b. Perkara yang dijadikan sumpah merupakan yang mungkin terjadi
3. Syarat pada sighat sumpah
a. Sumpah tidak disandarkan pada makhluk
b. Dalam kalimat sumpah tidak ada pemisah atau jeda
c. Dalam kalimat sumpah tidak ada kata pengecualian[19]
Jika seseorang melanggar sumpah al yamin al mun’aqadah, yaitu harus membayar kafarat sumpah yang telah dijelaskan dalam firman Allah berikut ini:
Artinya: Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh
orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). [20]
(Q.S. Al-Maidah.5.89).
Dari ayat Al-Quran
yang dijelaskan di atas bahwa bagi seseorang yang melanggar sumpah dikenakan
kafarat (sanksi) sumpah berupa pilihan
memberikan makan 10 orang miskin, memberi pakaian 10 orang miskin, dan memerdekan
seorang budak (hamba sahaya), jika ketiga pilihan di atas tidak mampu untuk
dilakukan maka boleh diganti dengan berpuasa selama tiga hari.[21]
[1] Fransiska
Idaroyani Neonhub dan Novi Triana Habsari, “Belis: Tradisi Perkawinan
Masyarakat Insana Kabupaten Timor Tengah Utara Kajian Historis dan Budaya Tahun
2000-201)”. Jurnal Agastya, Vol.08, No. 01, (2018), hlm. 109
[2] Ibid.,
hlm. 109
[3] Robert
Sibarani,” Pendekatan Antropolinguistik Terhadap Kajian Tradisi Lisan”, Vol.
1, No. 1 (2015), hlm. 1-17
[4] Rhoni Rodin, “Tradisi Tahlilan dan Yasinan”, 11, no. 1
(2013), hlm. 81-82
[5] Ibid., hlm. 82-83
[6] Tinggal
Purwanto,“ Tafsir Atas Budaya Khatam Al-Quran di Pondok Pesantren Sunan
Pandanaran Yogyakarta”IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Vol.
7, No. 2, (2020), hlm. 175
[7] Ilmi Hartati
Arles, Op.Cit., hlm. 15
[8] Ibid., hlm. 16
[9] Saryono, Wawancara, Tanggal 25 Agustus 2020,
Pukul 14.30 Wib
[10] Khoirul Anam,
“ Waktu dalam Perspektif Al-Quran Pada Ayat-Ayat Qasam”, Vol.8 No. 2,
(2007), hlm. 221
[11] Nur Hidayah, “Penafsiran Ayat-Ayat Sumpah Allah Dalam
Al-Quran ( Studi Kitab Al-Tafsir Al-Bayani LilQuran Al-Karim Karya Aisyah Bint
Al-Syathi, Tafsir Ibn Katsir Karya Ibn Katsir dan Kitab Jami’Ul Bayan ‘ An
Ta;Wili Yil Quran Karya At-Thabari.” Skripsi. (Fak. Ushuluddin IAIN
Walisongo, Semarang, 2009), hlm. 16
[12] Zulihafnani, “Rahasia Sumpah Allah dalam
Al-Quran”. Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, (2011), hlm. 2
[13] Susi Endayani,
“Larangan Nikah Sasotio Sumpah Setia Pada
Adat Masyarakat Desa Ranah Ditinjau Menurut Hukum Islam.” Skripsi. (Fak.
Syari’Ah dan Hukum, UIN Sultan Syarif Kasim, Riau, 214), hlm. 53
[14] Departemen
Agama Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 36
[15] Ibid.,
hlm. 278
[16] Susi Endayani,
Op.Cit., hlm. 59
[17] Departemen
Agama Republik IndonesiaI, Op. Cit., hlm. 122
[18] Susi Endayani,
Op.Cit., hlm. 55
[19] Ibid.,
hlm. 59-60
[20] Departemen
Agama Republik Indonesia, Op.Cit., hlm.122
[21] Susi Endayani,
Op.Cit., hlm. 62
-
https://drive.google.com/file/d/14GNPqUkn3rOR0sX6JbdV_UgdbapFYR4y/view?usp=drivesdk